SEJARAH DAN KEHIDUPAN NEGARA TANJUNG VERDE



IMG_256

Gambar 1. Bendera Tanjung Verde

Sumber : https://id.wikipedia.org/




PENDAHULUAN

Ketika membahas mengenai Tanjung Verde yang terlintas di benak banyak orang adalah kaitannya dengan Perjanjian Tordesillas. Perjanjian ini merupakan kesepakatan yang terjadi antara Spanyol dan Portugis karena keinginan mereka untuk sama-sama menguasai dunia. Akhirnya Paus Alexander VI yang merupakan keturunan bangsa Spanyol membagi dunia menjadi dua bagian di mana garis ditarik lurus dari Kutub Utara ke Kutub Selatan sekitar kira-kira 320 mill dari barat Tanjung Verde. Spanyol memiliki hak untuk memiliki dunia sisi barat sedangkan Portugis memiliki sisi timur. Tetapi Raja John II yang berasal dari Portugal merasa tidak puas dengan hasil dari perjanjian tersebut sebab mereka hanya mendapat bagian yang sedikit untuk wilayah Afrika. Kemudian pada 7 Juni 1494 Spanyol dan Portugis mengadakan pertemuan di Tordesillas. Garis demarkasi akhirnya di geser sekitar 1.185 mill ke kiri, ke barat Kepulauan Tanjung Verde. Perubahan ini disetujui oleh Paus Julius II pada 1506. Dari sinilah pembagian dua dunia yang hanya diakui oleh dua negara tanpa ada pengakuan dari negara yang merasa terjajah.


GEOGRAFIS, SUMBER DAYA ALAM, DAN MANUSIA

Sejarah dari Kepulauan Tanjung Verde memiliki tiga fase yang berbeda. Sejak dahulu sampai pertengahan abad ke-15, Tanjung Verde tidak dapat dikatakan sebagai tempat tinggal permanen walaupun masih ada segelintir orang yang berada di wilayah tersebut sebelum kedatangan orang Portugis. Fase kedua dari 1455 sampai 1975 (dari abad ke-15) menjadi bagian dari wilayah koloni Portugis dan menjadi pusat perdagangan budak. Fase terakhir diisi oleh momen kemerdekaan pada 1975 dan berada di bawah komando pemerintahan satu partai. Tetapi sistem tersebut diganti pada 1991 dan menjadikan negara sebagai demokrasi plural. Penduduk di Tanjung Verde bersifat pluralis, di mana rakyatnya terdiri kebanyakan dari orang-orang sekitar pantai Afrika, orang-orang Portugal, dan beberapa orang dengan agama Muslim dan Yahudi.

Secara geografis, Kepulauan Tanjung Verde berada di tengah Samudera Atlantik, terbentang antara 475 km dan 720 km lepas pantai Senegal, antara garis lintang 140 48’N dan 170 12’N, dan bujur 220 41’W dan 250 22’W. Terdiri dari 21 pulau dan berbagai pulau-pulau kecil yang 9 diantaranya dihuni oleh manusia. Kepulauan Tanjung Verde dibagi menjadi ke dalam 2 bagian pulau besar, yaitu Kepulauan Barlavento dan Kepulauan Sotavento. Tanjung Verde dikatakan sebagai wilayah yang kering dengan fluktuasi suhu tahunan mencapai sekitar 22o sampai 27o C. Luas tanahnya hanya 4.033 km2 yang hanya sedikit lebih besar dari Rhode Island di Amerika. Tanjung Verde memiliki populasi masyarakat dengan kisaran umur 15 sampai 64, dan usia rata-rata sekitar 20 tahun. Mayoritas penduduk tinggal di pedesaan sementara yang tinggal di perkotaan lebih banyak berada di Praia dan Mindelo.

Negara ini dinamakan Semenanjung Cap-Vert yang dari bahasa Portugis “Cabo Verde” (=jubah hijau), nama tersebut merupakan pemberian Portugis pada tahun 1444. Tetapi kali ini lebih sering dikenal sebagai “Republic of Cabo Verde” sebab sejak 24 Oktober 2013 delegasi PBB tidak memperbolehkan nama “Cape Verde” sebagai penamaan resmi. Pulau-pulau yang berada di Tanjung Verde merupakan susunan dari akumulasi batuan beku dengan struktur vulkanik dan piroklastik. Berdasarkan anomali magnetik memberi informasi bahwa struktur-struktur yang membentuk kepulauan tersebut berasal sejak dari 125 sampai 150 juta tahun yang lalu. Ditemukan pula batu tertua di daerah Maio dan semenanjung utara Santiago yang merupakan bantalan lava dan diperkirakan usianya 128 sampai 131 juta tahun yang lalu.

Dari lima negara bekas jajahan Portugis, Tanjung Verde terkenal akan perubahan dalam langkah pembangunan ekonomi dan sosial. Pada kemerdekaannya di tahun 1975, Republik Tanjung Verde sebenarnya memiliki tingkat kesehatan dan melek huruf yang lebih tinggi dari wilayah Afrika lainnya. Sumber penghidupan di kepulauan ini seperti tebu, kapas, pisang, kacang tanah, urzella, nila, dan kopi. Sedangkan produksi ternak menghasilkan budidaya unggas, babi, kambing, sapi, kuda. Untuk sumber mineral terdapat garam,tambang batu, dan pasir. Negara ini memiliki cuaca yang ekstrem sehingga kekeringan menjadi hal yang identik jika membahas Tanjung Verde. Kronologi kekeringan dan kelaparan pernah terjadi sejak tahun 1580-1583, selama tiga tahun tersebut membuat masyarakat kekurangan akan gizi. Kejadian yang sama terjadi pada tahun 1705-1721, kekeringan berkepanjangan terjadi khususnya di pulau-pulau utara dan dataran rendah. Pada tahun 1831-1833 terjadi bencana kelaparan hebat dan menyebabkan 30.000 orang mati, menyebabkan penurunan sensus populasi. Pada era modern seperti tahun 1900-1903 kekeringan masih saja terjadi dan membunuh 16.000 orang atau sekitar 17% populasi saat itu.


KOLONIALISME DAN KEMERDEKAAN

Pendatang pertama sepertinya bukan orang Portugis, melainkan orang Fenisia yang sempat datang ke Tanjung Verde pada abad ke-5 atau ke-4 SM dan terdapat pula bangsa Moor yang berlabuh di sana untuk mencari garam pada abad ke-10 atau abad ke-11. Mungkin alasan mengapa banyak orang mengaitkan bahwa Portugis-lah yang pertama kali datang ke Tanjung Verde karena dampak dari praktik kolonial yang besar dan memengaruhi kehidupan dari masyarakatnya. Dikisahkan bahwa Henry “Sang Navigator” untuk pertama kalinya datang menyeberangi Selat Gibraltar pada 1415. Pada 1434, mereka mencapai Cape Bojador di Maroko tetapi dua tahun setelahnya mereka gagal untuk mendapatkan Tangier. Pada tahun 1441, Gil Eannes dan Nuno Tristao mengambil budak pertama yang berasal dari pantai Afrika dan akhirnya Portugis secara teratur membawa 1.000 budak Afrika untuk dipekerjakan di negerinya pada 1450. Pada tahun 1455 atau 1456, Antonio de Noli dari Genoa dan Diogo Alfonso dari Portugis datang ke Kepulauan Cape Verde dan dapat dikatakan sebagai orang Eropa pertama yang dapat mencapai ke kepulauan tersebut. Kemudian mereka membangun pemukiman kolonial di bawah kebijakan capitanias dari arahan Antonio dan Bartolomeu de Noli pada 1462. Beberapa waktu berlalu, Tanjung Verde menjadi minat daya tarik pagi para pelaut seperti Vasco da Gama, Bartolomeu Dias, dan Christopher Columbus. Amerigo Vespucci pernah melakukan pelayaran dan mendarat di Tanjung Verde pada sekitar tahun 1499 atau 1500, diikuti oleh Vasco da Gama yang singgah di Tanjung Verde pada Mei 1499 sekembalinya ia dari India. Amerigo Vespucci sudah pernah singgah sebanyak tiga kali dari tahun 1499, kemudian pada tahun 1501-1502, dan untuk tahun ke 1503-1504. Populasi Tanjung Verde saat itu dapat dipastikan berasal dari orang Portugis capitaos, pejabat ulama, perwira militer, lacados atau orang buangan, dan degredados atau narapidana. Kelompok masyarakat tersebut juga berkonstribusi dalam kegiatan perekonomian dengan transaksi jual beli budak, kulit, kayu, gading, dan lilin. Dari hubungan perdagangan yang ramai di pesisir pantai Tanjung Verde membuat dijadikannya kepulauan tersebut sebagai pusat kendal Portugis atas seluruh hulu pantai Guinea.

Portugis menerapkan sistem perbudakan yang nantinya mereka akan dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan kapas dan gula serta melayani rumah tangga keluarga Portugis seperti juru masak, pencuci. Para budak juga digunakan sebagai tukang batu dan penggembala. Penjualan budak yang dilakukan kaum kolonial sudah melintasi dunia, para budak akan diangkut ke Portugis dan Canary yang berikutnya akan diekspor ke Brazil dan berbagai wilayah di Dunia Baru. Budak-budak tersebut dibawa menuju pantai dengan berjalan kaki dan kemudian akan diangkut ke gudang budak barakon untuk menunggu pembelian dan pengiriman menuju Dunia Baru. Jumlah penduduk Tanjung Verde kebanyakan adalah kaum budak, menjadikan kepulauan ini sebagai bangsa yang “didirikan” oleh para budak dan keturunannya.

Untuk menghadapi serangan pedagang budak dari Spanyol, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16, Portugis berusaha memperkuat otoritasnya dengan menghapuskan sistem capitania pada 1587 dan menggantinya dengan sistem pemerintahan gubernur jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada kerajaan untuk mengendalikan pulau-pulau dan pantai Guinea. Kondisi ekonomi Tanjung Verde saat itu dikatakan stabil, stagnan, berpotensi menguntungkan, dan berbahaya.

Pada awal abad ke-19, bangsa-bangsa Eropa yang menggunakan budak sebagai produk jual beli dan telah memperoleh kekayaan karenanya, mulai berhenti melakukannya dengan alasan moral dan ekonomi. Perdagangan minyak yang sah, kulit, kayu, gading, emas, dan produk Afrika yang lain jauh lebih penting daripada budak. Tetapi sayangnya Portugis kurang bisa menyesuaikan dengan keadaan seperti itu. Sama halnya seperti Amerika khususnya daerah New England masih membeli budak. Kedatangan seorang konsul Amerika di Tanjung Verde pada tahun 1818 menunjukkan hubungan jual beli budak dengan Portugis. Pada tahun 1840-an pemerintah Amerika membentuk satuan militer skuadron di Afrika dengan mengemban tugas mencari orang Amerika yang terlibat dalam perdagangan budak. Tetapi mengalami kegagalan dan pasukan ini ditarik untuk membantu dalam Perang Saudara Amerika. Tanjung Verde resmi mengakhiri era perbudakan pada tahun 1878. Kehadiran Portugis lambat-laun mulai berkurang hingga abad ke-19. Pada tahun 1879, Portugis secara resmi memisahkan administrasi pulau-pulau koloni di Pantai Guinea berdasarkan dari hasil Kongres Berlin 1884-1885, mereka hanya memiliki daerah muara Cacheu dan Geba yang merupakan bagian terbesar Guinea-Bissau. Penggulingan monarki Portugis pada tahun 1910 diikuti oleh republikanisme demokratis sampai pembentukan kekuatan fasis di Portugis pada tahun 1926. Peristiwa ini membawa dampak terhadap Tanjung Verde sebagai koloninya yang miskin. Melihat kondisi ini Partido Africano da Independencia da Guine e Cabo Verde (PAIGC) meluncurkan program permohonan damai untuk pemerintahan Portugis dan Badan Internasional. PAIGC didirikan pada 1956 di Bissau oleh Amilcar Cabral dan para pemimpin lain dari Tanjung Verde. Tuntutan PAIGC dijawab oleh Portugis di Bissau, tepatnya di galangan Kapal Pijiguiti pada bulan Agustus 1959. Akhirnya PAIGC menetapkan program perjuangan bersenjata anti-kolonial akan menjadi satu-satunya jalan menuju kemerdekaan. Pada Januari 1963 terjadi perang nasionalis. Hal ini ditanggapi oleh pihak Portugis. Pada tanggal 22 November 1963 Portugis menyatakan bahwa Tanjung Verde adalah “provinsi seberang laut” bukan koloni. Pernyataan tersebut dikeluarkan untuk memungkinkan Portugis bahwa Tanjung Verde adalah bagian organik dari Portugis dan dengan demikian mereka tidak ingin tunduk dengan gerakan de-kolonisasi di Afrika yang berkembang dengan pesat. Perang di Guinea-Bissau beserta dengan perang pembebasan nasional di Angola dan Mozambik merupakan bagian dari gerakan anti-kolonial yang dirancang untuk membebaskan Tanjung Verde. Perang tersebut menggunakan taktik gerilya dan membuat dampak yang besar bagi Portugis di mana hal ini membebani ekonomi dan politik hingga membuat penggulingan kekuatan monarki dan pejabat Portugis dari kekuasaannya pada tanggal 25 April 1975. Akhirnya kemerdekaan Afrika seperti Guinea-Bissau dapat diperoleh pada 24 September 1974 dan diikuti Tanjung Verde pada 5 Juli 1975.


HUBUNGAN TANJUNG VERDE DENGAN INDONESIA

Ibu kota Tanjung Verde berada di Praia dengan kepala pemerintah saat ini adalah Jorge Carlos Fonseca yang dipilih sejak tanggal 9 September 2011. Masyarakatnya berbahasa Portugis karena mereka awalnya merupakan koloni Portugis. Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia (2018) belum ada hubungan perjanjian bilateral dengan Tanjung Verde. Pada tahun 2016, Tanjung Verde memiliki akreditasi untuk KBRI Dakar sedangkan Indonesia terakreditasi untuk perwakilan Tanjung Verde di Beijing. Tetapi ada suatu hubungan budaya yang unik dan terjalin pada era kolonial hingga saat ini seperti kesenian musik Keroncong Tugu. Menurut Jascee (2010), mengemukakan pendapatnya bahwa istilah “keroncong” diambil dari salah satu nama alat musik mirip gitar yang berukuran kecil ukulele yang dalam bahasa Polynesia disebut “crouco”. Pendapat lain dapat dijelaskan asal mula nama “keroncong” karena musik ini menghasilkan bunyi “crong-crong” yaitu suara yang dihasilkan oleh gelang kaki penari ngremo dari Madura. Dan juga suara yang dihasilkan dari alat musik ukulele berbunyi “crong-crong”. Musik keroncong lahir dari Portugis abad ke-16 dengan nama Fado. Musik Fado sendiri berasal dari para budak negro Tanjung Verde. Fado pada umumnya merupakan lagu dengan mencirikan kesedihan, perasaan pasrah, dan melankolis. Musik Keroncong Tugu masuk ke Indonesia terutama di daerah Tugu, Jakarta Utara oleh bangsa Portugis yang singgah di Pelabuhan Sunda Kelapa dalam pelayarannya dari Malaka ke Maluku pada tahun 1513.




SUMBER RUJUKAN


http://kebudayaanindonesia.net/keroncong-tugu/ diakses pada 2 April 2021

Lumamba Hamilcar Shabaka. 2013. Transformation of “Old” Slavery Into Atlantic Slavery : Cape Verde Island, C 1500-1879. Michigan State University

Ricardo A.S. Ramalho. 2011. Building the Cape Verde Island. Springer Theses : UK

Richard A. Lobban Jr. & Paul Khalil Saucier. 2007. Historical Dictionary of the Republic of Cape Verde : Fourth Edition. The Scarecrow Press, Inc : UK


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ADOLF HITLER DAN PERANG DUNIA KEDUA

PROHIBITION DI AMERIKA SERIKAT